Kamis, 01 Maret 2012

CERPEN


Menantang Badai
Oleh
Fauzan Raudatul Hayat
Ini adalah sebuah perjuangan hidup yang bakal tercatat disepanjang zaman peradaban kehidupan. Banyak sekali problematika yang ku hadapi dan banyak juga paradigma-paradigma yang ingin aku ukir. Cerita-cerita ini bakal menjadi sebuah prasasti yang bakal abadi yang tak akan lekang oleh waktu, yang tak akan lapuk oleh hujan. Nama ku adalah Muhammad Kurniawan Ilahi. Aku merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Adik ku yang kedua bernama Annisaul Kamilah, dan adik ku yang paling kecil namanya Muhammad Sholeh.  Akan tetapi, benar kata orang manusia hanya mampu untuk berencana, meramal dan berprediksi, akan tetapi Tuhan yang menentukan. Adik ku Sholeh terkena penyakit Syndrom down. Syndrom down adalah suatu penyakit yang mengalami keterbelakangan mental.  Itu merupakan sebuah tantangan bagi keluarga ku. Banyak tetangga ku yang mengaitkan semua penyakit adik ku, Sholeh, dengan tahayul-tahayul belaka. Pernah suatu hari ketika orang tua ku berjualan es cendol di depan kampus IPB Dermaga Bogor ketika itu aku masih SMP, dan Sholeh selalu menemani bapak ku berjualan di depan kampus. Ketika itu dengan tidak sengaja Sholeh lari-lari dan tak sengaja Sholeh menjatuhkan jualan Teteh Elis pencual nasi uduk. Lantas keluar kata-kata yang tak enak didengar dari mulut Teh Elis.
“ Dasar anak ngak tahu diri, pembawa sial, pantasan saja otakmu itu jongkok sama kayak gelas cendol jualan bapakmu. Dosa besar apa yang dilakukan kedua orang tua mu, sehinga kamu harus terlahir?”, kata Teh Elis sambil berkacak pinggang.
Semua mahasiswa IPB waktu itu terpana dan tercengang mendengar ucapan Teh Elis itu. Semua mata tertuju padanya seolah-olah dia adalah seorang Putri Indoensia dan selebritis papan atas yang ramai menjadi buah bibir banyak orang. Rasanya kata-kata itu mencabik-cabik sanubari ku dan rasanya sanubari ini tembus ke lobang yang paling dalam yang belum pernah terjelajahi selama ini. Orang tua ku hanya mengusap dada dan bersabar menerima semua itu. Aku tinggal di Bogor hanya samapai aku jenjang SMP. Akan tetapi, ketika aku masuk SMA orang tua ku berhijrah ke kota Bandung, tepatnya di Jatinangor dan tidak jauh dari kampus Padjajaran. Ketika pindah ke Jatinangor aku sekolah di SMA N 1 Cileunyi Bandung dan adik perempuan ku, Annisa, sekolah di SMP N 1 Cileunyi. Sementara Sholeh selalu menemani bapak kemanapun bapak pergi. Karena Sholeh ngak bisa ditinggalkan sendirian di rumah. Sungguh perjuangan hidup yang sangat sulit untuk diterka. Poblematika rasanya tak henti-henti jua seolah-olah penuh tanda tanya bahkan terkadang tak terjawab oleh pikiranku.  Roda kehidupan keluargaku ini terus berada di bawah, entah sampai kapan roda itu berada di bawah?. Aku merasa seolah-olah hidup ini bagaikan sebuah teka-teki silang yang terkadang sulit untuk diterka. Kehidupan keluargaku selalu diselimuti dan diselubungi oleh mistis dan misteri yang sulit untuk diungkapkan. Ketika hidup di Jatinangor ibu ku mengontrak rumah kecil dan di depannya sengaja ibuku membuka julan nasi uduk. Biasanya mahasiswa UNPAD sering sarapan pagi di warung ibu ku untuk makan nasi uduk. Tapi warung ibu ku hanya ramai sampai pertengahan bulan. Kalau sudah mau akhir bulan warung ibu ku terkadang sepi, karena uang saku mahasiswa di akhir bulan biasanya sudah menipis. Sementara si bapak menjadi pak ogah di gerbang tol Cileunyi. Di bawah sinar dan teriknya mentari bapak ku mencari sesuap nasi untuk menyabung  nyawa meskipun saat itu mentari memuntahkan laharnya. Air keringat yang jatuh ke bumi bakal menjadi saksi semua perjalan hidup ku ini. Bapak berpanas-panasan mengatur mobil dan motor di gerbang tol Cileunyi, dengan harapan sopir mobil yang lewat memberi bapak ku uang sebagai ucapan terima kasih mereka. Penghasilan bapak menjadi Pak Ogah terkadang tak menentu. Terkadang bapak hanya bawa uang tiga puluh ribu rupiah, itupun kalau banyak orang yang ngasih dan banyak mobil yang lewat. Terkadang pernah bapak hanya bawa uang lima belas ribu rupiah saja. Bapak memang sudah tidak bisa bekerja keras lagi, karena tulang rusuk bapak patah ketika menjadi buruh bangunan dan terjatuh dari lantai empat sebuah bangunan lima tahun yang silam.
            Ini adalah sebuah perjuangan yang luar biasa dalam kehidupan ini. Problematika ini bakal ku jadikan sebuah landasan untuk berpikir lebih dewasa. Ini adalah kehidupan yang penuh dengan tantangan. Aku bagaikan sedang mengarungi sebuah lautan yang diterpa badai, dihantam gelombang demi mencapai sebuah pulau idaman. Aku terus mengarungi samudera mahligai nan suci, meskipun penuh gelombang silih berganti. Aku yakin semua adalah ujian dalam kehidupan ini. Tuhan semesta alam, bumi ini bakal melihat semua perjuangan hidup ini dan langit bakal turut andil menjadi saksi bahwa perjuangan hidup, dialektika kehidupan  ini suatu saat nanti bakal menjadi sebuah untaian syair nan syahdu dan terajut dalam melodi-melodi nan indah yang bakal menghiasi peradaban kehidupan ku nanti. Waktu terus bergulir sampai warung nasi ibu ku bangkrut, karena uang untuk modal terkadang terpakai untuk sekolah ku dengan Annisa dan terkadang terpakai untuk jajannya Sholeh serta untuk kebutuhan keluarga dan berobat bapak ke dokter. Setahun sudah keluarga ku hanya bergantung kepada bapak yang bekerja sebagai Pak Ogah di gerbang tol Cielunyi Bandung. Setelah setahun kebetulan ada orang yang mau mengajak ibu bekerja di UNPAD sebagai tukang bersih-bersih kebun dan merawat tanaman kampus UNPAD. Ibu tentu sangat senang karena ada sedikit tetesan rezeki yang masih diberi Tuhan dan keluargaku sangat membutuhkannya. Kebutuhan keluarga semakin membengkak dan apalagi aku bercita-cita ingin menjadi seorang sarjana. Aku ingin kuliah di Hubungan Internasional di Universitas Padjajaran. Yang menyedihkan secara tidak sengaja waktu itu aku mendengar omongan bapak dan ibu di kamar.
“ Pak..kumaha nya pak, eta si Iwan cenah mau kuliah di UNPAD. Ibu teh kan teu aya uang pak, tapi ibu teh juga kasihan sama dia. Kalau cita-citanya ini teh teu kesampaian pak. Kumaha atuh pak….”, kata ibu sambil mengeluarkan air mata dan terus memandang bapak. Bapak kelihatan sedang memikirkan sesuatu dan sesekali bapak mengkerutkan dahinya, dan bapak pun berkata , “ Buk…, dimana ada kemauan disitu ada jalan. Yang penting teh kita jangan matahin semangat si Iwan. Kita teh harus dukung buk. Bapak juga ingin merubah nasib keluarga buk……….”, tutur bapak dengan bahasa sunda sambil mengkerutkan dahinya.
            Lama aku mendengar celotehan kedua orang tua ku, aku lansung masuk kamar dan aku lihat adik ku Annisa dan Sholeh telah tertidur pulas. Maklum kamar di kontrakan kami di Jatinangor ini hanya dua kamar. Annisa dengan Sholeh tidur di atas kasur, sementara aku tidur sendirian di lantai hanya beralaskan tikar yang sudah lusuh. Disaat aku mau tidur mataku tertatap menuju langit-langit rumah sambil menghitung kayu-kayu yang melintang di atap rumah ini. Jiwa ku rasanya seolah-olah mati, ragaku seolah-olah melayang membubung tinggi ke angkasa. Kata-kata ibu sama bapak tadi membuatku semakin sayang sama bapak dan ibu. Ternyata begitu besar perjuangan bapak dan ibu. Kata-kata bapak dan ibu yang sempat aku dengar tadi seolah-olah terbang ke angkasa, membelah  cakrawala, menembus hingga nirwana. Tak kusadari malam itu, air mata ku menetes dengan syahdu di kedua pipi ini. Angin malam yang semakin dingin menusuk hingga sum-sum tulangku. Dewi malam bakal menjadi saksi atas air mata yang jatuh membasahi bumi. Aku merasa bumi mentertawakan ku,  bumi seolah-olah bertanya sedang apa diriku disini?. Tapi aku yakin air mata yang jatuh dengan syahdu ini bukanlah air mata kebohongan, tapi air mata ini benar-benar jatuh atas luapan emosi yang paling dalam, jauh di relung hatiku yang terdalam yang belum pernah terjelajahi selama ini.
            Waktu tanpa tersa terus berputar tepat Juli 2006 aku mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru ( SPMB). Disaat itu aku mengambil pilihan yang pertama adalah Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universtias Padjajaran dan pilihan kedua adalah Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran. Aku terus berhayal dan bermimpi ingin menjadi staff dubes RI luar negeri. Aku bukanlah manusia yang suka dengan banyak planning. Aku yakin dengan usaha bahwa aku mampu menembus HI UNPAD. Memang kuasa sang illahi yang paripurna, alhamdulillah aku bersyukur serasa seisi alam semesta juga ikut bertasbih atas kelulusan ku. Akhirnya SPMB 2006 aku berhasil diterima di HI UNPAD. Namun perjuangan belum berhenti disana, bapak ku yang masih bekerja sebagi Pak Ogah tentu tidak mempunyai uang untuk registrasi mahasiswa baru. Namun benar kata bapak, dimana ada kemauan disitu ada jalan. Kelulusan ku di UNPAD ternyata di ketahui juga oleh kepala sekolah ku. Waktu aku mengurus ijazah ke sekolah aku dipanggil keruangan kepsek. Aku duduk di sebuah sofa yang bagus di dalam ruangan kepsek. Aku sudah tidak kaget lagi atau canggung lagi untuk masuk keruangan ini, karena aku sudah sering masuk dan dipanggil ke ruangan ini. Dengan wajah yang santai kepsek membuka omongannya dengan ku. Sambil berjalan menuju kursi didekatku kepsek berkata, “ Iwan.. pertama kali bapak teh pengen ngucapin selamat ke kamu karena kamu berhasil lulus SPMB”, ujar bapak kepsek kepadaku dengan senyuman khas darinya.
 “ Hatur nuhun pak…..”, kataku sambil melirik ke kepsek.
Dengan pandangan yang tajam kepsek berkata ,” gini wan, bapak teh tahu bagaimana keadaan kamu teh sekarang. Dan bapak sudah memikirkan hal itu. Dengan  sedikit perjuangan alhamdulillah ini ada rezeki untuk kamu. Bapak rasa eta teh cukup untuk registrasi kamu ke UNPAD”, kata kepsek sambil menyerahkan amplop ke padaku.
” Waduh pak hatur nuhun ya pak, abdi teh ngak tahu lagi harus ngomong apa lagi ke bapak”, kata ku sambil bersalaman dan mencium tangannya.
” Ya sudah……Teu naon-naon atuh wan, yang penting nanti teh kamu kudu kuliah nya yang benar ya, tahun 2010 nanti kamu harus sudah keluar dari UNPAD”, tutur kepsek sambil menepuk pundak ku.
            Begitu panjang terjadi tutur kata antara aku dan kepsek lalu aku berpamitan untuk pulang. Akan tetapi, aku belum memberi tahu akan uang ini sama bapak dan ibu ku. Tepat di malam hari disaat kami sedang makan, aku pun berbicara di hadapan Bapak,Ibu, Annisa dan kebetulan adikku yang kecil sudah tidur karena dia sangat capek sekali karena tadi siang Sholeh dibawa ibu ke kampus untuk bersih-bersih taman kampus UNPAD.
“ Bu, Pak tahu teu….. Abdi teh punya kejutan untuk ibu, ama bapak kasadayana”, tutur ku sambil mengambil amplop menuju kamar.
Sambil  mengisap rokoknya bapak berkata,“ kejutan naon wan…..? aya-aya wae kamu”.
Sambil membuka amplop itu aku lihat ibu ama bapak terkejut melihat uang sebanyak itu. Uangnya berjumlah sepuluh juta rupiah. Si ibu dengan terkejut sambil memegang piring berkata ” Woalah Wan……. kamu teh dapat uang sebanyak ini dari mana, kamu nyopet wan?”, kata ibu dengan muka yang pucat.
 “ Bu……………Tenang dulu……….Ini teh bapak kepala sekolah abdi yang ngasih. Kata si bapak teh cenah, ini teh untuk registrasi ke UNPAD, jadi bapak sama ibuk teh teu usah mikirin uang gimana cara nya abdi registrasi ke UNPAD”, imbuhku sambil menenangkan ibu sama bapak.
” Alhamdulillah atuh wan, bapak teh teu nyangka bakal ada rezeki seperti ini, semoga kebaikan nya dibalas dengan pahala ya”, tutur bapak sambil mengeluarkan air mata, begitu juga aku lihat ibu yang menangis sambil memeluk aku.
            Malam itu semua rasa bercampur jadi satu. Sedih,haru dan senang semua rasa tergumpal menjadi sebongkah rasa yang tak mampu ku ucapkan lewat kata-kata. Namun pujian dan tasbih untuk sang pencipta jagat raya tak henti-henti keluar dari mulut ini. Dengan rahmat ini aku merasa orang yang paling bahagia. Dulu sebelum mendapatkan semua ini aku bagaikan sebuah Mesir yang kehilangan Sungai Nil. Mesir dan Sungai Nil adalah sepasang peradaban yang tak bisa dipisahkan. Tanpa Sungai Nil, Mesir terasa hampa. Akan tetapi, sekarang aku telah mendapatkan kembali Sungai Nil ku kembali. Mesir tak lagi merasakan kesepian. Sekarang  jiwaku terasa kuat penuh dengan tumpukan berjuta energi.
            Ketika semester satu di UNPAD aku berani berunjuk gigi di jurusan HI dengan pembuktian IP ku 3,84. Sebuah nilai dan kerja keras yang luar biasa. Disaat itulah aku bertemu dengan seorang perempuan cantik jelita, tatapan dan wajahnya menembus jauh ke dalam sukmaku. Di balik senyumannya tersimpan berjuta harapan. Dia adalah Zaski Amelia Putri. Dia juga merupakan mahasiswa HI seangkatan denganku. Akan tetapi, dia adalah anak dari Rektor Universitas Padjajaran. Zaski begitu panggilan akrabnya dan  menurut ku dia punya kepribadian yang bagus dan baik. Tutur bahasanya begitu syahdu dan selalu membuatku merasa nyaman ketika bersamanya. Tapi aku mengubur rasa ini dalam-dalam jauh kelubuk hatiku yang paling dalam yang tak akan pernah terjamah oleh siapapun. Zaski tahu bagaimana kehidupan ku, akan tetapi Zaski belum pernah ku ajak kerumah ku dan Zaski juga belum pernah kenal dengan anggota keluargaku. Aku merasa tidak sepadan dengan dia makanya aku tidak mengenalkan Zaski ke keluargaku.  Zaski sudah menjadi sahabat yang paling dekat denganku. Diantara teman yang lain, Zaski adalah teman yang paling dekat denganku. Ibarat kata-kata di Jatinagor cintaku bersemi, namun  aku tak berani mengungkapkan rasaku pada Zaski. Aku takut Zaski bakal salah menterjemahkan semua ini dan aku juga tak mau hubungan persahabatan ini bakalan hancur dan sirna ditelan bumi. Aku membiarkan rasa itu mengalir dengan sendirinya, tapi hati ini tak dapat berbohong.
            Kedekatanku dengan Zaski terus semakin memuncak. Aku tak dapat lagi membendung semua rasa ini kepada Zaski. Tapi aku juga harus sadar diri, diriku dan dirinya sudah sangat berbeda jauh status. Tapi apa boleh buat aku sekarang tengah dimabuk candu asmara. Setiap mau tidur Zaski menari-nari diatas pelupuk mataku. Disaat itu aku mencoba menghilangkannya dengan membaca ayat suci al-quran, akan tetapi bayangan zaski semakin menari-nari di atas ayat yang aku baca. Aku tak tahu apa yang ku alami, namun benih-benih cinta ini masih bisa ku sembunyikan dari Zaski. Namun pernah suatu hari Zaski melemparkan sesuatu pertanyaan kepadaku. Sambil berjalan dari FISIP menuju FKG Zaski berkata, ” Wan…. aku boleh nanya ngak”, kata Zaski sedikit ragu.
“ Waduh Zas…….. Kamu kayak siapa aja, biasa nya juga juga sering nanya. Seolah-olah kamu kayak baru kenal aja dengan aku”, kataku sambil terus berjalan.
“ Kamu kok aku lihat belum punya pacar ya Wan…. Perempuan idaman kamu seperti apa seh Wan….?”, tutur Zaski sambil memandangku. Aku sempat kaget dengan semua itu, biasanya Zaski tak pernah bertanya tentang hal-hal yang sudah menjurus kepada perasaan. Aku sempat tertegun sebentar dan aku terus kembali berjalan.
“ Ya yang penting dia baik, tidak berlebihan dan  yang penting kalau dia sayang sama aku dia juga harus sayang sama keluargaku dan yang terpenting lagi akhlaknya baik. Eh ya udahlah ngak usah bahas-bahas itu, aku jadi ngak enak aja”, tutur ku supaya Zaski tidak bertanya terlalu jauh.
Batin ku semakin tersiksa ketika Zaski bertanya seperti itu, karena rasanya ingin sekali mengungkapkan rasa cinta ini kepadanya, tapi terkadang banyak hal yang harus aku pikirkan. Apalagi kalau Zaski dekat dengan pria lain, rasanya cemburu ini begitu mendalam. Rasanya hatiku ini serasa disobek-sobek dan diiris-iris. Terkadang cinta ini telah membutakan hati ku. Padahal Zaski bukanlah siapa-siapaku, tapi kenapa cemburu ini begitu dalam dan buta ketika aku melihat Zaski dengan pria lain. Tak kuat batin  ini rasanya menaggung beban semua ini, namun aku tetap berpikir  secara rasional. Aku tak mau berpikir dengan egoku, karena ego tiu cuma bersifat sementara. Aku tak mau ada hati yang tersakiti jika aku mengungkapkan rasa cinta ini kepada Zaski. Apalagi aku sempat mendengar rumor kalau anak Dekan Fakultas Komunikasi UNPAD menyukai dan mencintai Zaski, tapi Zaski belum memberikan jawaban pasti.
            Prestasi akademik ku semakin berani unjuk gigi. Pada semester dua, tiga dan empat IP ku mencapai sempurna yaitu 4,00. Sehingga dengan semua itu aku selalu dapat beasiswa dan tak ada juga dosen yang tak kenal dengan aku. Teman-teman di FISIP dan dosen di FISIP banyak yang kenal dengan seorang M. Kurniawan Ilahi. Meskipun ibu ku sebagai tukang bersih-bersih kebun di kampus UNPAD dan bapak cuma sebagai Pak Ogah alhamdulillah aku bisa membalas semua tetesan keringatnya dengan persembahan nilai yang sangat bagus. Namun ada suatu rezeki yang tak terduga. Ada teman kenalan bapak yang bekerja di UNPAD katanya rektor UNPAD sedang mencari seseorang untuk sopir pribadi. Kebetulan bapak memang bisa nyetir mobil dan karena tidak mau menyia-nyiakan semua kesempatan itu bapak lansung aja mengambil kesempatan untuk menjadi sopir pribadi rektor UNPAD.
            Akhirnya roda kehidupan ekonomi mulai berputar ke arah yang lebih baik. Dialektika kehidupan tampaknya sudah mengali proses editing. Bapak sekarang sudah punya pengahsilan yang menetap sebagai sopir rektor UNPAD, akan tetapi Zaski dan pak rektor tak pernah tahu kalau anak dari sopir pribadi rektor itu adalah aku. Tapi aku tidak pernah mengingkari kalau bapak dan ibu adalah orang tua ku. Aku bukanlah malin kundang zaman modern, walau apapun pekerjaan orang tua ku mereka tetap orang tua ku yang telah berjasa dalam perjalanan ku dalam membangun sebuah peradaban dalam sendi-sendi kehidupan. Pernah suatu kejadian, ketika itu aku mempunyai sebuah urusan dengan dosen ku di kampus UNPAD Dipatiukur. Kebetulan aku dan Zaski hanya janjian bertemu di kampus UNPAD Dipatiukur. Setelah selesai urusan, Zaski malah mengajak ku makan, karena papanya mau ngajak makan siang diluar.
“ Wan..papaku mau makan siang di luar neh….., kamu ikut ya…..Pliss ikut ya Wan”, kata Zaski dengan wajah memelas kepadaku.
“ Ah Zas ngak enak aku nya sama papa kamu, kamu aja deh!!!. Aku masih kenyang Zas……..”, kata ku menolak.
“ Wan kalau kamu ngak mau berarti kamu ngak suka dengan ajakan aku, berati juga kamu ngak menghargai aku dong. Ayuk…ikut yuk….”, tutur Zaski.
Akhirnya aku ikut aja dengan ajakan Zaski, karena aku merasa ngak enak juga menolak tawaran Zaski. Tapi, di depan parkiran mobil khusus rektor aku lihat bapak sedang duduk di pinggir mobil, sementara pak rektor aku lihat sedang memegang telepon genggamnya. Kemudian Zaski lansung bersalaman dengan papanya dan tak ku sangka ternyata Zaski juga bersalaman dengan bapak ku dan mencium tangannya. Sungguh kepribadian yang luar biasa bagiku, lantas aku juga bersalaman dengan pak rektor dan juga bapakku. Selama dalam perjalanan  menuju Bandung Indah Plaza tak ada satu katapun terucap dari bibir ku begitu juga bapak. Aku lihat bapak konsentrasi menyetir mobilnya. Namun  tiba-tiba pak rektor bertanya kepada ku.
“ Nama kamu siapa?....Kuliah di UNPADjuga?”, kata pak rektor singkat.
“ Nama saya Iwan pak. ia pak saya kuliah di UNPAD juga, temen satu kelas Zaski pak”, tutur ku sedikit gugup.
“ Orang tua mu kerja dimana?”, tanyanya lagi padaku.
“ Hmm….Orang tua saya……..Kalau ibu saya sebagai tukang kebun dan bapak sebagai sopir pak”, imbuhku dengan wajah yang sedikit merah.
Aku berpikir akan ada lagi pertanyaan yang lain dari pak rektor. Ternyata percakapan berakhir sampai disana saja. Tak lama akhirnya kami sampai di Bandung Indah Plaza. Zaski lansung saja menuju lantai tiga dan pak rektor pun berbicara pada bapakku.
“ Ayuk pak sekalian bapak keatas sekalian ya….Kita makan siang dulu. Perjalanan kita nanti habis Zuhur mau ke Depok lho pak!!!”, ucap pak rektor kepada bapak.
“ Hmm……iya pak”, imbuh bapak singkat sambil melirik kepadaku dengan sedikit gagap.
Disana aku melihat ternyata bapak diperlakukan dengan sangat terhormat sekali oleh keluarganya Zaski. Bapak sepertinya sudah tidak dianggap seperti sopir, tapi sudah menjadi bagian dari keluarganya. Ternyata Zaski dan keluarganya bukan baik dari luarnya saja, tapi di dalamnya jauh lebih baik dari apa yang aku lihat. Banyak kebaikan keluarga Zaski yang tak terlihat oleh kasat mata. Sesampai di tempat makan Zaski menawarkan mau pesan makanan apa. Akan tetapi, aku hanya menjawab sama kan saja apa yang dipesan oleh Zaski.
“ Pak Imron mau pesan apa?”, kata papanya Zaski ke pada bapakku.
“ Yang murah aja pak”, tutur bapak singkat.
“ Eh..kenapa gituh pak… selagi ada kesempatan gini lho pak. Pak Imron kayak orang lain aja. Ya udah Pak Imron pesan gurame bakar manis aja ya”, imbuh pak rektor sambil melihat daftar menu dan harganya aku lihat gurame bakar adalah empat puluh ribu rupiah.
“ Pelayan…….gurame bakar nya dua ya satu untuk saya dan satu lagi untuk bapak ini”, kata pak rektor kepada pelayan.
            Begitu disaat suasana makan, bapak hanya meminta teh manis dan aku lihat makanan ini terlalu mewah untuk aku santap begitu juga bapak. Biasanya kami tak pernah melihat makanan semewah itu, karena banyak hal yang lebih dibutuhkan. Aku tak menyangka akan makan di tempat semahal ini. Aku makan dengan sedikit malu-malu. Perasaan merasakan kurang pantes berada di meja itu. Aku sempat berkata dalam hatiku masak anak sopir dan tukang kebun mengenal makanan enak. Biasanya tiap pagi aku dan adik-adikku hanya kenal dengan nasi uduk tak lebih dari itu. Aku lihat juga bapak yang makan dengan sedikit berbasa-basi. Karena meskipun kami tak pernah makan-makanan yang mewah itu kami juga perlu menjaga image didepan Zaski dan papanya supaya tidak terlihat sekali seperti orang kampungan yang belum pernah makan-makan mewah.
            Disaat makan suasana ku sudah tak karuan lagi, aku menahan semua air mataku agar tak tumpah. Aku merasa sedih melihat bapak. Begitu keras perjuangan bapak untuk membiayai aku dan keluarga. Rasanya disaat itu aku ingin sekali memeluk bapak, tapi aku merasa kalau hal itu ku lakukan takutnya nanti bakal merusak suasana makan. Sehabis makan bapak berkata kepada papanya Zaski, “ Pak saya duluan ke bawah pak….., saya tunggu bapak di mobil aja”, kata bapak sambil berpamitan.
“ Oh ya sudah pak….., Ngak papa kok”, ucap pak rektor dengan sedikit senyum ketulusan kepada bapak.
Sehabis acara makan aku minta berpisah disana saja dengan Zaski dan papanya. Aku bilang ada urusan mendadak. Akhirnya aku dan Zaski berpisah di lantai dasar mall itu. Akhirnya aku pulang ke rumah dengan naik angkot. Sesampainya di malam hari bapak menanyakan semua kejadian tadi siang kepadaku.
“ Wan.. bapak mau ngomong sesuatu sama kamu”, ujar bapak kepadaku sambil menuju teras rumah dan membawa secangkir kopi. Aku melihat ada keseriusan di wajah bapak.
“ Iya…. Pak bapak teh mau ngomong naon pak?”, ujarku singkat sambil melirik ke wajah bapak.
“ Ada hubungan apa kamu dengan anak pak rektor?. Apa kamu menjalin hubungan cinta dengan dia?”, tanya bapak kepadaku dengan wajah yang penasaran.
“ Nggak pak…. Teu aya hubungan apa-apa atuh pak. Zaski hanya teman biasa nya Iwan pak……..!!”, balasku dengan sedikit gugup.
” Wan bapak tidak melarangmu untuk berpacaran,tapi kan kamu tahu neng Zaski itu dari keluarga mana Wan, sementara kamu…..?. Ibu mu cuma tukang kebun dan bapak mu cuma seorang supir pribadi. Kita teh berbeda level Wan…..Kamu harus tahu hal itu nak. Ngak akan mungkin cinta kamu itu bersatu nak…..Bapak tahu dari sorot mata kalian ada rona-rona dan benih-benih cinta yang mulai kalian semaikan. Dari cara kalian bertatapan saat makan tadi bapak udah ngak bisa dibohongi lagi. Kamu harus berpikir dengan dengan rasional mu nak…….., jangan kamu teh berpikir menggunakan ego mu”, kata bapak panjang lebar.
Aku hanya tertunduk terdiam tanpa kata-kata. Mulutku ini hanya bungkam tak mampu untuk berucap walau hanya sepatah katapun. Kemudian bapak meninggalkan ku sendirian di teras rumah. Dan aku masih memikirkan semua kata-kata bapak yang terlontarkan kepadaku. Memang hatiku tak bisa munafik, aku memang terlanjur mencintai Zaski. Namun apakah perbedaan kasta diantara aku dan dia haruskah cinta suci ini yang menjadi korban?. Aku tak tahu lagi apa yang hendak aku lakukan. Gerhana meliputi segalanya. Tiada lagi sinaran cahaya. Sebuah keinginan tanpa sebuah kepastian. Tak mampu rasanya ku teruskan semua ini. Biarlah kurelakan semuanya, namun dalam hidupku ada sebuah tanda tanya. Entah mengapa hal ini terjadi?. Biarpun tak mampu ku untuk bertahan akan tetapi , Zaski bakal menjadi orang yang paling berharga dalam relung hati ini sehingga perasaan ini terbawa dan diterpa gelombang asmara sampai acara wisuda sarjana. Mungkin semua yang disembunyikan selama ini bakal terbongkar. Seperti rutinitas biasanya bapak menjemput pak rektor beserta istrinya dan Zaski untuk menghadiri wisuda sarjana. Semua orang berkumpul dari berbagai jurusan untuk wisuda sarjana. Ibu, adik ku Annisa dan Sholeh juga menghadiri hari yang paling bersejarah itu. Namun bapak datang setelah menjemput keluarga pak rektor. Waktu itu ada sebuah sambutan oleh rektor UNPAD yang masih terngiang-ngiang di telinga ini. Beginilah sambutan yang masih tergiang di telingaku pada Agustus 2010.
            “ Hadirin yang berbahagia. Terima kasih atas kehadirannya. Saya selaku Rektor Universitas Padjajaran merasa bangga dengan mahasiswa yang akan diwisuda tahun ini. Semoga tamat dan keluar dari UNPAD ini lansung bisa mendapat pekerjaan, meskipun sekarang ini perjuangan untuk mendapatkan pekerjaan semakin sempit, tapi saya yakin mahasiswa yang sudah sarjana ini bakal bisa mendapatkan pekerjaan yang dihati. Amin…..
            Hadirin yang berbahagia satu yang membuat saya bangga tahun ini. Mahasiswa Hubungan Internasional dari FISIP dapat beasiswa S2 di Paris sekaligus diterima bekerja sebagai staff dubes RI di Prancis. Untuk saat ini dia berhasil mempunyai IPK tertinggi diantara semua mahasiswa UNPAD yaitu dengan IPK 3,98 dia berhasil lulus dengan nilai coumlaude. Untuk itu mari kita sambut untuk mendampingi saya……Muhammad Kurniawan Ilahi”, ucap pak rektor dengan suara yang bersih dan jernih.
Riuh tepuk tangan saat itu membuatku tak mampu berucap apa-apa lagi. Memang waktu itu aku mengajukan beasiswa S2 ke Paris dan alhamdulillah  impianku untuk menjadi staff dubes bisa tercapai sambil kuliah pascasarjana di negara tersebut. Aku lansung bersalaman dengan pak rektor yang memberikan ucapan selamat kepadaku.
 “ Untuk orang tua dari anak kita silahkan naik ke atas panggung untuk mendampingi anaknya”, pinta pak rektor.
            Disaat itu seorang sopir pribadi dari seorang rektor Universitas Padjajaran maju ke depan dengan langkah yang tegap. Sesampai di atas panggung aku lansung memeluk bapakku. Anak tukang kebun  dan sopir jadi sarjana. Tetesan air mata mengalir dengan deras di pipi ini. Waktu itu semua hadirin juga terharu meneteskan air mata atas semua ini. Aku melihat waktu itu sudah seperti sinetron saja, tapi ini memang sebuah kenyataan. Aku melihat dari kejauhan ibu dan adikku juga mengeluarkan air mata. Ya Tuhan sang penguasa alam ini, terimaka kasih atas terjamahnya doaku ini. Aku merasa seluruh isi alam waktu itu ikut bertasbih memuji atas karunia sang penguasa alam semesta.
            Kontan waktu itu pak rektor, Zaski dan keluarganya tersentak kaget. Ternyata orang yang menjadi pemenang di akhir tahun di UNPAD itu adalah anak seorang sopir dan tukang kebun di UNPAD. Kontan saja dengan sedikit kaget pak rektor memberikan selamat kepada bapak. Namun aku melihat  tak ada satu katapun yang terucap dari pak rektor kepada bapak. Sehabis acara semua orang berfoto-foto dengan para anggota keluarga, namun karena aku tidak mempunyai kamera , aku hanya menumpang pada temanku untuk difotokan. Tak lama kemudian datang pak rektor dan keluarganya menghampiri aku dan keluargaku.
“ Maafkan saya pak yang selama ini tidak pernah memberi tahu bapak kalau anak saya juga kuliah di UNPAD dan temen dari neng Zaski pak”, ujar bapak kontan.
“ Pak Imron kenapa harus minta maaf sama saya, saya malah bangga sama bapak. Ternyata dunia itu begitu sempit ya pak…… Kenapa selama ini saya tidak menyadari akan hal itu ya. Orang yang selalu menemani saya selama ini ternyata anaknnya adalah seorang bintang yang luar biasa. Saya kagum melihat perjuangan dari pak Imron dan keluarga. Meskipun sebagai sopir dan tukang kebun di UNPAD ini, bapak bisa mensarjanakan seorang anak. Saya merasa bangga sekali dengan semua itu”, tutur pak rektor kepada bapak ku.
“ Oh ya Wan….. Selamat ya atas perjuangan mu selama ini, kapan rencananya berangkat ke Paris?”, Tanya pak rektor sambil menjabat tanganku.
“ Ke Parisnya dua minggu lagi, paspor nya sedang  dalam proses pak dan menunggu ijazah dulu”, kata ku dengan senyum kepada pak rektor. Aku melirik ke Zaski dan batin ku rasanya berkecamuk. Apakah aku harus rela mengikhlaskan Zaski menjadi milik orang lain. Aku sudah terlanjur mencintai Zaski. Terlalu sayang jika cinta ini harus pupus dan kandas di telan bumi, hancur berkeping di tengah peradaban cinta. Akan tetapi, perkataan bapak masih terngiang-ngiang di telingaku ini. Akhirnya aku buang muka supaya Zaski paham maksud ku, namun Zaski malah meneteskan air mata.
“Zaski maafkan aku Zas….. Aku tak bermaksud menyakiti perasaanmu. Kamu adalah perempuan yang paling berharga dalam hidupku ini, tapi terlalu dalam jurang diantara kita”, kataku dalam hati sambil pergi meninggalkan Zaski.
            Dua hari setelah wisuda aku ke fakultas mengurus keberangkatanku ke Paris sambil memohon agar dipercepat ijazah ku dan secera kebetulan juga waktu itu aku bertemu Zaski namun aku coba untuk menghindar akan tetapi, Zaski malah mendekati ku.
“ Wan.. kenapa kamu semakin jauh dari aku, apakah ada salah yang pernah aku lakukan yang telah melukai hatimu, sehingga kamu tak mau lagi bicara dengan ku?. Apakah terlalu berat masalah itu untuk kamu maafkan?”, kata Zaski dan air matanya menetes di pipinya karena sudah tak terbendung lagi.
“ Kamu ngak bakalan tahu Zas…., Ini masalah hati yang tak akan pernah dipahami orang lain”, kata ku dengan suara yang parau.
“ Tapi kenapa aku yang jadi sasaran ini, kamu sudah aku anggap teman paling baik bahkan lebih dari itu, namun kenapa kamu malah menjauh dari aku wan….?. Aku tuh sedih Wan jadinya…….”, kata Zaski menagis.
“ Ini karena aku cinta samu kamu Zaski”, tuturku singkat.
“ Ternyata benar selama ini Wan, cintaku tak bertepuk sebelah tangan, telah lama aku memendam rasa sama kamu Wan. Aku sayang dan cinta sama kamu Wan”, imbuhnya sambil melihat aku.
“ Sudahlah Zas biarkan cinta itu hidup dalam diri kita masing-masing. Biarkan dia hilang dan sirna dengan sendirinya. Jurang pemisah diantara kita terlalu dalam Zas. Kamu adalah seorang anak rektor UNPAD orang nomor satu di Padjajaran, masak pacaran sama anak tukang kebun UNPAD dan sopir pribadi rektor. Mau kamu tarok di mana harkat dan martabat keluarga kamu Zas…?”, kata ku sambil berdiri dan hendak meninggalkan Zaski, namun Zaski memegang tanganku dan berkata ” Wan aku sama keluargaku tak pernah menilai orang dari status sosial. Keluargaku bukan seperti itu…... Wan aku cinta kamu Wan…”, kata Zaski sambil bersimpuh di kakiku. Untung saja di tempat itu tidak banyak orang dan sepi.
“ Iya Zas aku cinta sama kamu”, kataku singkat sambil memapah Zaski untuk berdiri. Spontan waktu itu Zaski lansung memeluk ku, namun aku lansung tersentak.
“ Zas maaf kita belum mukhrim ngak enak dilihat orang”, kata ku sambil melepaskan pelukan itu.
“ Oh iya maaf aku terlalu senang Wan”, katanya sambil melepaskan pelukan itu.
“ Wan aku mau ngomong ke papa agar hubungan kita mendapat restu dan aku ingin ikut kamu ke Paris. Aku juga ingin melanjutkan pascasarjana disana”, tutur Zaski sambil mengajak ku jalan menuju kafe.
Aku hanya bisa mengangguk saja. Waktu ku hanya tingal satu minggu lagi untuk keberangkatanku ke Paris. Ternyata tepat malam Senin pak rektor datang ke kontrakan kami yang kecil dengan keluarga kecilnya termasuk di dalamnnya Zaski. Karena ruangan kami yang kecil pak rektor tak sungkan-sungkan duduk di lantai.
“ Begini Pak Imron kedatangan saya kesini ada suatu maksud dan tujuan. Saya telah mengetahui hubungan asmara antara Zaski dan Iwan. Saya harap kita sebagai orang tua mendukung apa yang menjadi keinginan mereka. Dan renacana saya, sebelum Iwan berangkat ke Paris bagaimana mereka kita nikahkan saja pak, dan supaya mereka bisa pergi ke Paris berdua”, ujar papanya Zaski.
Itu membuat bapak dan ibu ku terkejut, “ tapi pak…”, kata bapakku terbata.
” Masalah biaya biar saya yang ngatur dan kehidupan bapak sekeluarga nanti bakal menjadi tanggung jawab saya. Jadi Iwan nantinya tak perlu pusing bagaimana kehidupan bapak disini. Saya telah memberikah hadiah sebuah rumah kepada bapak di kompleks Bumi Harapan dan bapak ngak perlu khawatir untuk semuanya”, ucap pak rektor.
Ramah tamah begitu berlansung lama. Sungguh keakraban yang ikhlas terpancarkan dari dua buah keluarga. Keluargaku hanya mampu untuk mengucapkan terima kasih kepada keluarganya Zaski. Dan memang tiga hari sebelum keberangkatan ku ke Paris acara pesta pernikahan ku dan Zaski digelar dengan sederhana dengan hanya mengundang kerabat-kerabat dekat. Di waktu keberangkatan di Bandara, Soekarna Hatta, Jakarta ibuk, bapak, adikku Annisa dan Sholeh menangis melepas kepergianku. Apalagi adikku Sholeh, meskipun dia terkena penyakit syndrome down, tapi dia paham akan arti persaudaraan dan cinta. Aku melihat air mata yang mengalir dengan ikhlas dari wajah adikku, meskipun dia belum paham semuanya. Lalu aku lansung memeluk adikku Sholeh. Berat rasanya meninggalkan semua keluargaku, tapi ini demi cita-cita ku. Sekarang keluargaku sudah ngak tinggal lagi di kontrakan kecil di Jatinangor, tapi sudah menempati rumah mewah dua lantai. Akhirnya aku berangkat ke Paris dengan istri Zaski Amelia Putri. Wahai angin yang berhembus, sekarang aku semakin paham. Inilah aku yang apa adanya bukan adanya apa. Yang ingin merajut cinta dan membuat mu bahagia. Namun jurang pemisah diantara kita telah sirna di telan bumi. Sekarang benih-benih cinta yang telah lama kita semai bakal tumbuh. Ku ingin selama nya mencintaimu sampai ajal datang menjemputku. Ku ingin selamanya disampingmu wahai wanita pujaan hati ku. Sekarang aku sedang kuliah S2 di Paris, di tempat yang sama dengan istri ku Zaski, sekaligus aku bekerja di kedubes RI untuk Prancis. Satu hal yang ingin aku goreskan diakhir kali adalah cinta yang suci tak akan pernah memandang status sosial.
SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar